Jumat, 02 Desember 2011

AKAR-AKAR DOSA DAN KLASIFIKASINYA

             I.      Mukadimah

           
            Dosa adalah hijab (penutup) antara hamba dan Rabbnya, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, menghindari perbuatan yang dapat menghalangi kita dari Allah SWT adalah wajib hukumnya. Namun, menjauhi dosa tidak akan terealisasi secara maksimal, kecuali bila dilakukan dengan tiga hal.

  1. Ilmu
  2. Penyesalan (Nadam)
  3. Niat untuk menghindari dosa (Azm)

Apabila seseorang tidak mengetahui bahwa dosa merupakan hal yang dapat menjauhkan dirinya dari Allah, maka dia tidak akan merasa menyesal atas dosa yang dilakukannya, dan ia juga tidak merasa risih dengan perilakunya yang jauh dari Tuhannya. Semua itu mengakibatkan ia tidak akan pernah kembali kepada jalan yang benar, yaitu jalan taubat. Oleh karena itu, mengetahui akar-akar dosa—yang merupakan sumber datangnya sebuah dosa—merupakan sebuah kewajiban, sehingga dengan pengetahuan tersebut seorang hamba Allah tidak mudah terjerumus ke dalam lembah dosa.


          II.      Akar-akar Dosa

            Dosa mempunyai tingkatan-tingkatan yang berbeda. Ia berbeda dari sisi kualitas,  pengaruh, serta akibat kerusakannya. Maka, hukumannya pun berbeda, baik hukuman di dunia maupun di akhirat. Kita akan mencoba—dengan pertolongan Allah—untuk membahas hal tersebut.
            Asal segala bentuk dosa itu kembali kepada dua hal.
1.      Meninggalkan segala perintah Allah SWT.
2.      Melanggar segala hal yang dilarang-Nya.

Kedua bentuk dosa tersebut adalah dosa yang digunakan Allah untuk menguji nenek moyang jin, yaitu Iblis, dan dan nenek moyang manusia, yaitu Adam as.
            Meninggalkan perintah Allah dan melanggar yang diharamkan-Nya merupakan asal segala bentuk dosa. Hal ini pada dasarnya berhulu kepada dua sebab: syahwat dan syubhat.
            Syahwat yang ada pada diri manusia merupakan saluran setan untuk menjerumuskan manusia kepada lembah dosa dan durjana. Setan memiliki langkah serta strategi yang jitu agar manusia menjadi pengikutnya, bahkan lebih jauh lagi supaya manusia menjadi tentara setan,  yang nantinya berusaha menyesatkan manusia lainnya. Apabila syahwat seseorang tidak dibimbing oleh akal dan aturan Allah SWT, maka ia akan selalu berusaha untuk memenuhi syahwatnya tanpa aturan dan bimbingan. Hal ini merupakan pembangkangan terhadap segala perintah dan larangan Allah SWT, dan itulah dosa.
            Adapun syubhat, secara etimologi, berarti kemiripan, keserupaan, persamaan, dan ketidakjelasan. Al-Imam al-Ghazali mendefinisikan syubhat dengan perkataan:  “Sesuatu yang masalahnya tidak jelas, karena di dalamnya terdapat dua keyakinan yang berlawanan, yang timbul dari dua faktor yang menimbulkan dua keyakinan tersebut.” [1]
Maka, pengertian umum dari kata syubhat adalah sesuatu yang tidak jelas: apakah sesuatu itu  benar atau salah; atau masih mengandung kemungkinan benar dan salah. Adanya syubhat pada diri seseorang merupakan hasil rekayasa setan melalui strategi taswisnya (rekayasa membuat keraguan). Syubhat mengakibatkan para pemeluk agama menyelewengkan ajaran agama yang sebenarnya, dan syubhat jugalah yang membuat  peletak serta pengikut aliran-aliran keagaman sesat membangkang terhadap ajaran Allah SWT.


       III.      Empat Induk dan Sumber Segala Dosa

            Setelah kita memahami bahwa akar segala bentuk dosa adalah syahwat dan syubhat, maka kita harus mengetahui bahwa setan  memiliki program penyesatan untuk manusia melalui dua saluran tersebut. Program-program tersebut menampilkan sifat-sifat dosa yang pada dasarnya bermuara pada empat sifat, dan semuanya merupakan inti dari segala bentuk dosa.

Pertama, Sifat Rububiyyah (Sifat-sifat Ketuhanan).
Sifat rububiyyah adalah sifat-sifat yang hanya pantas dan layak disandang oleh Allah SWT. Oleh karenanya, apabila sifat-sifat itu ditemukan pada diri manusia, maka ia akan menjadi pendorong dan penyebab perbuatan dosa, seperti sifat sombong dan membanggakan diri, menampilkan keperkasaan, senang dipuji dan disanjung, selalu merasa tinggi, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan inti terjadinya perbuatan dosa yang sangat berbahaya dan menghancurkan, tetapi kebanyakan manusia tidak mempedulikan hal tersebut. Bahkan, mereka mengangap  semua itu bukan merupakan pelanggaran atau dosa.

Kedua, Sifat Syaithaniyyah (Sifat-sifat setan).
Sifat-sifat syaithaniyyah adalah segala bentuk karakter setan yang apabila dilakukan oleh manusia akan menjadi bukti bahwa setan sudah berhasil mensetankan manusia. Sifat-sifat tersebut seperti iri, dengki, provokatif dan menabur permusuhan,  membangkang, menipu, curang, tidak taat, munafiq, memerintahkan dan melakukan berbagai bentuk kerusakan, dan lain sebagainya.

Ketiga, Sifat Bahimiyyah (Watak Kebinatangan).
Watak kebinatangan adalah watak yang senantiasa berputar pada pemenuhan hasrat makan, minum, tidur, seks, dan insting kebinatangan lainnya yang bermuara pada pemenuhan syahwat. Adapun semua perilaku yang betujuan memenuhi gejolak syahwat tanpa aturan  adalah inti dari segala bentuk dosa. Sebab, dari sinilah terjadi perzinaan, pemerkosaan, pencurian, penyimpangan seksualitas, dan lain sebagainya.

Keempat, Sifat Sabu’iyyah (Watak Binatang Buas).
Watak ini selain bermotivasi menyalurkan hasrat kebinatangan, dia pun dibantu oleh kelebihan yang dimiliki—baik kekuatan maupun keinginan di atas rata-rata—binatang. Sifat ini akan menampilkan dosa-dosa yang sangat berbahaya dan menghancurkan, seperti marah, dengki, menyerang orang lain, memukul, membunuh, merampas, memperkosa, dan lain sebagainya.

            Keempat watak di atas merupakan induk dan sumber malapetaka dosa. Dari watak tersebut lahirlah dosa-dosa yang mengalir deras ke setiap anggota tubuh manusia. Pada awalnya watak itu mempengaruhi fikiran, lalu timbullah dosa keyakinan, kemusyrikan, keraguan terhadap kebenaran yang nyata, pemikiran-pemikiran yang menentang kebenaran mutlak dari Tuhan, nifaq, dan lain sebagainya. Watak-watak tersebut juga mempengaruhi penglihatan, pendengaran, lidah, kaki dan tangan, dan tidak ada satu pun anggota tubuh manusia yang terlepas dari pengaruhnya. Tidak ada seorang pun yang tidak tersentuh oleh segala macam bentuk dosa di atas, yang semuanya bermuara pada empat sifat di atas.


       IV.      Klasifikasi Dosa

A.       Keterkaitannya dengan pihak lain.

Jika dilihat dari keterkaitannya dengan pihak lain,  maka dosa terbagi menjadi dua bagian.

1. Dosa yang berkaitan dengan hak-hak manusia (Hak Adami).
Bentuk dosa yang berkaitan dengan hak-hak manusia permasalahannya agak rumit. Hal ini disebabkan dosa seperti ini tidak akan bebas (diampuni), selama orang yang terkait belum memaafkan dan menghalalkannya.

2. Dosa yang berkaitan langsung dengan Allah SWT.
Allah Maha Suci untuk didurhakai. Pengampunan dari segala dosa yang berkaitan dengan Allah Rabbul ’Alamin lebih dekat dan lebih dapat diharapkan, kecuali dosa menyekutukan-Nya (dosa syirik). Sebab, dosa tersebut tidak akan diampuni.

Berkaitan dengan dua bentuk dosa di atas, Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin,  Aisyah ra.

Mahkamah peradilan Allah itu ada tiga. Pertama, peradilan yang Allah tidak memperdulikannya. Kedua, peradilan dimana Allah tidak meninggalkan urusan sekecil apa pun. Ketiga, peradilan dimana Allah tidak memberikan ampunan di dalamnya. Adapun peradilan yang tidak ada ampunan di dalamnya adalah kemusyrikan. Allah SWT berfirman, ‘...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan baginya surga....’ (al-Maidah: 72). Adapun peradilan yang Allah tidak memperdulikannya adalah peradilan hamba yang mendzalimi dirinya sendiri, dan dosanya terkait antara dia dengan Allah SWT,  maka Allah akan mengampuninya dan Insya Allah dianggap tidak ada. Adapun peradilan yang Allah SWT tidak meninggalkan sekecil apapun (teliti) adalah kedzaliman yang terjadi antara hamba dengan yang lainnya, maka qishash pasti terjadi.” (HR. Imam Ahmad)

B.       Besar dan Kecilnya Dosa.

Jika dilihat dari ukuran besar dan kecilnya, maka dosa terbagi menjadi dua bagian.
1. Kabaair  (Dosa-dosa besar)
2. Shagir  (Dosa-dosa kecil)

Perbedaan pendapat  tentang dosa-dosa besar (kabaair) ini sangat banyak, dan hadits yang membahasnya pun jumlahnya berbeda-beda. Setidaknya, ada lima hadits shahih yang membahas dosa-dosa besar tersebut.

Pertama, Hadits yang disampaikan Abi Khurairah ra, “Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, ‘Jauhilah tujuh dosa yang menghancurkan.’ Para sahabat bertanya,  ‘Ya Rasulullah, apa saja yang dimaksud dengan tujuh dosa tersebut?’ Rasululllah menjawab, ‘Mempersekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang telah diharamkan oleh Allah tanpa hak, memakan riba,  memakan harta anak yatim,  melarikan diri dari medan juang ketika perang  dalam keadaan sengit, dan menuduh wanita-wanita mukmin yang baik berzina.’” (HR. Bukhari) [2]

Kedua, Hadits yang disampaikan Ibnu Mas’ud ra, “Sesungguhnya Rasulullah saw. telah ditanya, ‘Apakah yang dimaksud dengan dosa besar itu?’ Maka, Rasulullah bersabda, ‘Kamu menjadikan sesuatu sebagai sekutu Allah, padahal Dia-lah yang telah menciptakanmu. Kemudian Rasul ditanya lagi,  ‘Apalagi?’ Rasulullah menjawab, ‘Kamu membunuh anakmu karena takut makan bersamamu.’ Kemudian ditanya lagi, ‘Apalagi?’ Rasul menjawab, ‘Kamu melakukan zina bersama istri tetanggamu.’” (HR.  Bukhari) [3]

Ketiga, Rasulullah saw. bersabda,  “Maukah kalian aku beritahukan dosa yang paling besar? Dia adalah perkataan yang keji.” Dalam riwayat lain, “Menjadi saksi atas perbuatan keji.” (HR. Bukhari)

Keempat, Anas bin Malik berkata, “Rasulullah saw. menyebutkan dosa-dosa besar atau Beliau ditanya tentang dosa-dosa besar, maka Beliau bersabda, ‘Dosa-dosa besar itu adalah menyekutukan Allah, bunuh diri, dan durhaka kepada orang tua’. Lalu, Beliau bertanya, ‘Maukah kalian kuberitahu tentang dosa terbesar? Yaitu Perbuatan dusta atau sumpah palsu.’” [4] 

Mengenai dosa kabaair, para ulama berbeda pendapat, dan  mereka mempunyai banyak pendapat tentang haal tersebut.. Hadits-hadits Rasulullah saw tentang kabaair tidak bisa dihitung karena banyaknya. Mungkin, syariat tidak menjelaskan dengan gamblang dan jelas dengan tujuan agar manusia sangat berhati-hati dengan urusan dosa.
            Adapun karena shagaair (dosa-dosa kecil) jumlahnya sangat banyak,  maka sulit untuk bisa dideteksi dan ditentukan. Akan tetapi, setiap orang yang beriman hendaklah mengetahui dengan baik bahwa dosa-dosa kecil itu kelak menjadi besar karena beberapa sebab, yaitu sebagai berikut.

1.        Dilakukan secara terus menerus.
2.        Menganggap enteng dosa kecil.
3.        Merasa senang setelah melakukannya, dan mencari sanjungan atas dosa tersebut
4.        Menganggap ringan dikarenakan ampunan Allah.
5.        Membeberkan perbuatan dosa dihadapan orang banyak.
6.        Pelakunya adalah orang berilmu yang menjadi panutan orang banyak.


    V.            Penutup

            Ketika manusia dihadapkan dengan segala bentuk dosa, dan dosa-dosa itu laksana seorang raja yang bengis dan berjiwa penjajah,  maka pastilah ia mulai menyerang dan membumihanguskan desa-desa, perkampungan, dan kota-kota. Maka, penduduk negeri yang ia jajah itu pun terbagi menjadi empat kelompok.

Pertama,  Binasa karena dibunuh.
Kedua, Disiksa.
Ketiga, Selamat dari kekejamannya.
Keempat, Beruntung.
           
Demikian juga halnya manusia ketika dihadapkan dengan dosa. Dosa sangat berbahaya dan menghancurkan,  tetapi sedikit manusia yang bisa mempertahankan diri darinya, dan akhirnya binasa karenanya. Di sisi lain, ada diantara mereka yang tertawan oleh dosa, maka hidupnya penuh dengan tekanan sebagai pengaruh dari dosa yang dia lakukan. Adapun orang yang tidak terpedaya rayuan setan sebagai tentara penabur kemaksiatan—, tetapi tidak begitu banyak melakukan kebajikan, itulah kelompok ketiga. Namun, sebagai orang yang beriman, kita ingin menjadi orang-orang yang terhindar dari segala bentuk dosa, dan pada waktu yang sama, berinvestasi dengan kebajikan yang banyak, sehingga ketika menghadap Allah SWT, kita akan termasuk golongan faaiziin (orang-orang yang beruntung). Amin.


[1] . al-Ghazali. Ihya Ulumuddin. Juz 2, hlm. 99
[2] . al-Bukhari. Bi Hasyiatis Sindi.  Juz 2, hlm. 156, Hadist 2766
[3] . Ibid, Juz 4, hlm. 202-203, Hadist 6811
[4] . Ibid, hlm. 57 No Hadist 5977

Tidak ada komentar:

Posting Komentar