Minggu, 18 Desember 2011

pengaruh dosa


PENGARUH DOSA



       I.            Mukadimah


Setiap ada pelanggaran sekecil apa pun,  pelanggaran itu pasti akan diberikan sanksi dan hukuman oleh Allah SWT. Tidak ada pelanggaran yang dilakukan manusia yang luput dari pantauan Allah dan pengawasann-Nya. Akan tetapi, hukuman yang Allah akan berikan dan timpakan kepada setiap pelanggar ketentuannya bisa dipercepat. Hal ini berarti hukumannya bisa didapatkan di dunia dalam bentuk yang ditentukan dan dikehendaki-Nya. Dari kebanyakan hukuman itu, ada yang ditangguhkan sampai datang hari pembalasan. Namun, pengaruh negatif dari segala bentuk dosa itu bisa dirasakan dan didapatkan oleh pelaku secara khusus, dan mungkin berimbas kepada masayarakat yang ada disekelilingnya secara umum.


    II.            Pengaruh Dosa


Segala bentuk kemaksiatan memiliki  pengaruh negatif dan berbahaya bagi hati dan jasmani,  baik di dunia maupun di akhirat. Kebanyakaan dari  pengaruh dosa itu tidak diketahui, kecuali oleh Allah SWT. Adapun pengaruh dari dosa itu adalah sebagai berikut.

1. Terhalang dari Cahaya Ilmu

            Pelangaran atas setiap ketentuan Allah merupakan sebuah kebodohan. Ilmu adalah cahaya Allah yang disimpan di dalam hati seseorang yang dikehendaki-Nya, dan kemaksiatan bisa memadamkan cahaya ilmu.
Suatu ketika Imam Syafi’i duduk dihadapan Imam Malik dan membacakan sesuatu kepadanya, maka Imam Malik merasa kagum dengan apa yang ia lihat dari kesempurnaan kecerdasan, kepandaian yang gemilang, dan pemahaman Imam Syafi’i atas ilmu yang paripurna. Imam Malik lalu berkata, ”Aku berkeyakinan bahwa Allah telah meletakkan cahaya di dalam hatimu, maka jangan padamkan cahaya itu dengan kegelapan kemaksiatan.” [1]

Adapun Imam Syafi’i  berkata dalam lantunan bait syairnya.
Aku mengadukan kekurangmantapan hapalanku kepada Imam Waki’i

Maka, dia memberi nasehat untuk meninggalkan segala bentuk maksiat

Dan dia berkata, “Ketahuilah,  bahwasanya  ilmu adalah anugerah Ilahi
Dan anugerah Ilahi itu tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.

2. Kegalauan Menyelimuti Hati

            Pelaku kemaksiatan akan menemukan kegalauan, ketakutan, dan kegundahan jiwa di salam hatinya. Pelaku dosa tidak akan menemukan kelezatan hati, walaupun segala bentuk keindahan dan saran hidup yang berbentuk materi dia miliki. Akan tetapi, kegundahan itu tidak akan hilang. Sebab, kelezatan hati  dan ketenangan jiwa hanya akan didapatkan oleh orang yang memiliki hati yang hidup, yang selalu disiram oleh iman dan keta’atan. Sebuah peribahasa Arab melukiskan, ”Sakit karena luka tidak dirasakan oleh orang telah mati”, dan  kemaksiatan merupakan sebab kematian hati seseorang.
Dikisahkan oleh para ulama bahwa seseorang pernah mengadu kepada salah seorang dari mereka. Ia merasa dirinya menemukan kegalauan, kegundahan hidup, dan kengerian dalam hatinya. Maka, dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya dosa–dosa telah membuat hatimu gundah gulana, maka tinggalkanlah dosa-dosa itu jika kamu mau (berkehendak) dan hiduplah dalam ketenangan.”
            Tidak ada dalam hidup ini yang paling menyakitkan hati, kecuali kegalauan dan  kegundahan hati yang diakibatkan oleh dosa yang menimpa pelakunya. Semoga Allah menolong kita dari hal tersebut.[2]

3. Ketakutan untuk Berinteraksi dengan Orang Lain

            Ada ketakutan yang dirasakan oleh pelaku dosa untuk melakukan hubungan dengan orang lain, terutama dengan para pelaku kebaikan dan orang-orang soleh. Seolaha da penghalang dan jurang yang sangat dalam, yang memisahkan antara dirinya dengan orang-orang yang baik dan soleh. Ketika kekhawatiran itu semakin kuat, maka semakin jauh pula hubungan dirinya dengan mereka. Akibatnya, dia tidak akan mendapatkan manfaat keberkahan dan kebaikan dari mereka. Oleh karena itu, dia akan semakin dekat dengan tentara syetan (hizbusysyaithan) sesuai dengan kejauhan dirinya dari wali-wali Allah (hizbullah), dan sekaligus jauh dari Allah  Yang Maha Rahman, dikarenakan kemaksiatan yang dia lakukan. Akhirnya, dia merasa terisolasi dari kehidupan bermasayarakat terutama dengan orang-orang soleh, bahkan sampai terhadap istri, orang tua, anak, dan keluarga secara luas. [3]
Salah seorang ulama soleh terdahulu mengatakan, “Aku bisa melihat akibat perbuatan maksiatku  pada perilaku kendaran dan istriku.”

4. Kesulitan dalam Setiap Urusan

            Pelaku kemaksiatan akan menemukan segala bentuk kesulitan dalam setiap urusannya. Apabila dia dihadapkan dengan sebuah urusan, maka seolah semua pintu penyelesaiannya tertutup dan terkunci rapat. Hal ini kebalikan orang yang dekat dengan Allah (orang bertaqwa), karena orang seperti itu akan selalu diberikan jalan keluar dari setiap permalasannya.

“...Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar bagi dirinya.” (ath-Thalaaq (65) : 2)

Adapun barangsiapa yang mematikan ketakwaannya dan menggantikannya  dengan kemaksiatan terhadap Rabb-nya, maka Allah akan menjadikan segala urusannya sulit. Sungguh mengherankan, bagaimana kehidupan seorang hamba—yang semua pintu kebaikan dan ketakwaan tertutup rapat bagi dirinya serta seluruh jalan menujunya sulit ditempuh dan ditelusuri, tetapi dirinya tidak mengetahui penyebab semua itu. Ketahuilah, wahai hamba Allah, bahwa kemaksiatanlah penyebabnya.[4]

5. Kegelapan yang Hakiki di dalam Hati

            Pelanggaran terhadap ketentuan Allah adalah kedzaliman, dan kedzaliman adalah kegelapan bagi pelakunya. Pelaku maksiat akan merasakan kegelapan hati, sebagaimana dirinya merasakan gelap gulita di malam hari. Seorang pendosa akan menemukan kegelapan hati seperti kenyataan keseharian dikala malam tiba dengan gelap gulita yang menakutkan, sehingga dirinya tidak bisa melihat kebenaran yang semestinya dia lakukan. Cahaya ketaatan yang diperlukan untuk menempuh kehidupan sudah ditutupi oleh kelamnya kemaksiatan. Bahkan ketika kegelapan bertambah, maka bertambah pula kebingungan, dan ia akhirnya terjerumus pada bid’ah, kesesatan, dan  hal-hal yang membinasakan, sementara ia tidak menyadarinya. Perumpamannya seperti orang buta yang keluar sendirian dimalam hari. Kekuatan kegelapan maksiat ini bisa tampak pada sorot mata serta raut muka dan setiap orang bisa melihatnya.
Abdullah bin Abbas ra berkata,  “Sesungguhnya kebaikan itu memberikan cahaya pada wajah pelakunya, menjadi pelita bagi hati, memberi kelapangan rizqi, membentuk kekuatan jasad, dan membuat orang-orang mencintainya. Adapun sesungguhnya kejahatan itu membuat muka carut marut, memberi kegelapan dalam hati, kelemahan pada badan, mengurangi pintu rizqi, dan membuat orang lain membencinya. [5]

6. Memperlemah Hati dan Jasad

            Pengaruh kemaksiatan terhadap hati merupakan hal yang sangat mudah kita temukan. Hal ini disebabkan karena  kelemahan hati itulah seseorang bisa terjerumus dan berani melanggar aturan Allah dengan melakukan kemaksiatan. Adapun bila kemaksiatan  terus menerus dilakukan, maka ia bisa mematikan hati secara keseluruhan. Artinya, hati tidak akan memiliki saluran untuk program kebaikan sedikit pun. Maksiat mempunyai  pengaruh terhadap daya tahan tubuh, dikarenakan kekuatan tubuh tertumpu pada kekuatan hati. Dikala hati memiliki kekuatan, maka tubuh secara spontan akan memiliki daya tahan yang kokoh. Inilah hati dan badan hamba-hamba Allah yang taat an soleh. Adapun orang jahat, walaupun tubuhnya kekar, pada hakekatnya dirinya adalah orang yang paling lemah dikala dihadapkan dengan kebutuhan. Cukuplah sejarah menjadi bukti kongkrit yang bisa dijadikan dalil atas hal dia atas. Betapa kuatnya Bangsa Romawi dan Persia secara fisik, namun mereka dikalahkan oleh orang-orang yang beriman yang memiliki kekuatan tubuh, terutama kekuatan hati.[6]

7. Menjauhkan Seseorang dari Ketaatan

            Keta’atan dan kemaksiatan adalah dua hal yang saling bersebrangan. Tidak akan terjadi perkumpulan diantara keduanya, bahkan yang akan terjadi adalah pergumulan yang saling mengalahkan. Maka, apabila seseorang terjerumus dengan kemaksiatan berarti dirinya sudah mengalahkan ketaatan. Seandainya kemaksiatan tidak memiliki hukuman—kecuali terhalangnya seseorang dari ketaatan, maka sebagai pengganti dosa itu adalah menghalangi ketaatan selanjutnya, kemudian dari ketaatan yang ketiga, dan terus seperti itu, sehingga tidak ada ketaatan lagi, kecuali terputus dan terhalang oleh kemaksiatan yang sudah dilakukannya. Dengan demikian, kemaksiatan itu akan menghalangi dari ketaatan yang demikian banyak jumlahnya, padahal setiap bentuk kebaikan yang terhalang itu memiliki pahala yang lebih baik dari dunia beserta isinya ini. Perumpamaan dosa yang menghalangi ketaatan itu persis seperti seseorang yang memakan satu hidangan  yang menimbulkan penyakit yang cukup lama, sehingga memaksa dirinya untuk tidak makan hidangan-hidangan selanjutnya, padahal kualitas hidangan itu lebih enak dan lezat dari yang ia makan.[7]

8. Melakukan Kemaksiatan Memberikan Celah Kemaksiatan Lain.

            Sesungguhnya segala bentuk kemaksiatan merupakan  satu proyek yang dibangun oleh iblis dengan seluruh bala tentaranya. Oleh sebab itu, melakukan satu kemaksiatan merupakan bibit unggul yang akan melahirkan kemaksiatan lainnya, sehingga apabila seseorang sudah tertawan oleh kemaksiatan, maka sulit kiranya untuk melepaskan dari genggamannya. Sebagian ulama salaf mengatakan, ”Sesungguhnya sebagian dari hukuman kejahatan adalah timbulnya kejahatan  lainnya.” Demikianlah seterusnya.
Hal ini disebabkan segala bentuk ketaatan dan kemaksiatan itu laksana karakter yang sudah mendarah daging dan menempel pada setiap pelakunya. Apabila orang soleh yang taat meninggalkan ketaatan, maka dirinya akan merasa tersiksa dikarenakan hilangnya satu kesempatan untuk mendapatkan kebaikan, seolah dirinya adalah ikan yang berpisah dengan air yang merupakan tempat hidupnya. Demikian pulalah orang yang jahat, apabila dirinya tidak melaksanakan kemaksiatan, maka dadanya merasa sesak. Semua jalan kebaikan yang ada dihadapannya buntu dan tetutup, karena kemaksiatan sudah menjadi makanan dan minuman kesehariannya. Apabila seseorang terbiasa dengan kemaksiatan, maka setan akan datang memberikan bantuan, sekaligus mengangkatnya menjadi prajurit yang siap diperintah untuk menyesatkan manusia lainnya.[8]

           III.          Penutup

Semoga Allah memberikan pertolongan dan kekuatan  kepada kita untuk senantiasa mampu melawan setan dan kemaksiatan: dengan memberikan ilmu, ketenangan jiwa, kekuatan hati dan menyinari dengan cahaya-Nya yang tak pernah redup. Semoga taufiq dan hidayah-Nya juga senantiasa melimpah, agar kita mampu untuk melakukan segala bentuk ketaatan demi memperoleh kebaikan, keberkahan, dan keridhaan Allah Rabbul ’Alamin. Amiin.

Waallahu a’lam bish-shawwab.
            Tim Almanar


[1] . Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Al-Jawabul Kaafi. Tunist: Maktabah Darut. 1989 M/1409 H, hlm. 104
[2] . Ibid, hlm. 104-105
[3] . Ibid, hlm. 105
[4] . Ibid, hlm.105
[5] . Ibid, hlm.105-106
[6] . Ibid, hlm.106
[7] . Ibid.
[8] . Ibid, hlm.108-109

Jumat, 02 Desember 2011

AKAR-AKAR DOSA DAN KLASIFIKASINYA

             I.      Mukadimah

           
            Dosa adalah hijab (penutup) antara hamba dan Rabbnya, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, menghindari perbuatan yang dapat menghalangi kita dari Allah SWT adalah wajib hukumnya. Namun, menjauhi dosa tidak akan terealisasi secara maksimal, kecuali bila dilakukan dengan tiga hal.

  1. Ilmu
  2. Penyesalan (Nadam)
  3. Niat untuk menghindari dosa (Azm)

Apabila seseorang tidak mengetahui bahwa dosa merupakan hal yang dapat menjauhkan dirinya dari Allah, maka dia tidak akan merasa menyesal atas dosa yang dilakukannya, dan ia juga tidak merasa risih dengan perilakunya yang jauh dari Tuhannya. Semua itu mengakibatkan ia tidak akan pernah kembali kepada jalan yang benar, yaitu jalan taubat. Oleh karena itu, mengetahui akar-akar dosa—yang merupakan sumber datangnya sebuah dosa—merupakan sebuah kewajiban, sehingga dengan pengetahuan tersebut seorang hamba Allah tidak mudah terjerumus ke dalam lembah dosa.


          II.      Akar-akar Dosa

            Dosa mempunyai tingkatan-tingkatan yang berbeda. Ia berbeda dari sisi kualitas,  pengaruh, serta akibat kerusakannya. Maka, hukumannya pun berbeda, baik hukuman di dunia maupun di akhirat. Kita akan mencoba—dengan pertolongan Allah—untuk membahas hal tersebut.
            Asal segala bentuk dosa itu kembali kepada dua hal.
1.      Meninggalkan segala perintah Allah SWT.
2.      Melanggar segala hal yang dilarang-Nya.

Kedua bentuk dosa tersebut adalah dosa yang digunakan Allah untuk menguji nenek moyang jin, yaitu Iblis, dan dan nenek moyang manusia, yaitu Adam as.
            Meninggalkan perintah Allah dan melanggar yang diharamkan-Nya merupakan asal segala bentuk dosa. Hal ini pada dasarnya berhulu kepada dua sebab: syahwat dan syubhat.
            Syahwat yang ada pada diri manusia merupakan saluran setan untuk menjerumuskan manusia kepada lembah dosa dan durjana. Setan memiliki langkah serta strategi yang jitu agar manusia menjadi pengikutnya, bahkan lebih jauh lagi supaya manusia menjadi tentara setan,  yang nantinya berusaha menyesatkan manusia lainnya. Apabila syahwat seseorang tidak dibimbing oleh akal dan aturan Allah SWT, maka ia akan selalu berusaha untuk memenuhi syahwatnya tanpa aturan dan bimbingan. Hal ini merupakan pembangkangan terhadap segala perintah dan larangan Allah SWT, dan itulah dosa.
            Adapun syubhat, secara etimologi, berarti kemiripan, keserupaan, persamaan, dan ketidakjelasan. Al-Imam al-Ghazali mendefinisikan syubhat dengan perkataan:  “Sesuatu yang masalahnya tidak jelas, karena di dalamnya terdapat dua keyakinan yang berlawanan, yang timbul dari dua faktor yang menimbulkan dua keyakinan tersebut.” [1]
Maka, pengertian umum dari kata syubhat adalah sesuatu yang tidak jelas: apakah sesuatu itu  benar atau salah; atau masih mengandung kemungkinan benar dan salah. Adanya syubhat pada diri seseorang merupakan hasil rekayasa setan melalui strategi taswisnya (rekayasa membuat keraguan). Syubhat mengakibatkan para pemeluk agama menyelewengkan ajaran agama yang sebenarnya, dan syubhat jugalah yang membuat  peletak serta pengikut aliran-aliran keagaman sesat membangkang terhadap ajaran Allah SWT.


       III.      Empat Induk dan Sumber Segala Dosa

            Setelah kita memahami bahwa akar segala bentuk dosa adalah syahwat dan syubhat, maka kita harus mengetahui bahwa setan  memiliki program penyesatan untuk manusia melalui dua saluran tersebut. Program-program tersebut menampilkan sifat-sifat dosa yang pada dasarnya bermuara pada empat sifat, dan semuanya merupakan inti dari segala bentuk dosa.

Pertama, Sifat Rububiyyah (Sifat-sifat Ketuhanan).
Sifat rububiyyah adalah sifat-sifat yang hanya pantas dan layak disandang oleh Allah SWT. Oleh karenanya, apabila sifat-sifat itu ditemukan pada diri manusia, maka ia akan menjadi pendorong dan penyebab perbuatan dosa, seperti sifat sombong dan membanggakan diri, menampilkan keperkasaan, senang dipuji dan disanjung, selalu merasa tinggi, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan inti terjadinya perbuatan dosa yang sangat berbahaya dan menghancurkan, tetapi kebanyakan manusia tidak mempedulikan hal tersebut. Bahkan, mereka mengangap  semua itu bukan merupakan pelanggaran atau dosa.

Kedua, Sifat Syaithaniyyah (Sifat-sifat setan).
Sifat-sifat syaithaniyyah adalah segala bentuk karakter setan yang apabila dilakukan oleh manusia akan menjadi bukti bahwa setan sudah berhasil mensetankan manusia. Sifat-sifat tersebut seperti iri, dengki, provokatif dan menabur permusuhan,  membangkang, menipu, curang, tidak taat, munafiq, memerintahkan dan melakukan berbagai bentuk kerusakan, dan lain sebagainya.

Ketiga, Sifat Bahimiyyah (Watak Kebinatangan).
Watak kebinatangan adalah watak yang senantiasa berputar pada pemenuhan hasrat makan, minum, tidur, seks, dan insting kebinatangan lainnya yang bermuara pada pemenuhan syahwat. Adapun semua perilaku yang betujuan memenuhi gejolak syahwat tanpa aturan  adalah inti dari segala bentuk dosa. Sebab, dari sinilah terjadi perzinaan, pemerkosaan, pencurian, penyimpangan seksualitas, dan lain sebagainya.

Keempat, Sifat Sabu’iyyah (Watak Binatang Buas).
Watak ini selain bermotivasi menyalurkan hasrat kebinatangan, dia pun dibantu oleh kelebihan yang dimiliki—baik kekuatan maupun keinginan di atas rata-rata—binatang. Sifat ini akan menampilkan dosa-dosa yang sangat berbahaya dan menghancurkan, seperti marah, dengki, menyerang orang lain, memukul, membunuh, merampas, memperkosa, dan lain sebagainya.

            Keempat watak di atas merupakan induk dan sumber malapetaka dosa. Dari watak tersebut lahirlah dosa-dosa yang mengalir deras ke setiap anggota tubuh manusia. Pada awalnya watak itu mempengaruhi fikiran, lalu timbullah dosa keyakinan, kemusyrikan, keraguan terhadap kebenaran yang nyata, pemikiran-pemikiran yang menentang kebenaran mutlak dari Tuhan, nifaq, dan lain sebagainya. Watak-watak tersebut juga mempengaruhi penglihatan, pendengaran, lidah, kaki dan tangan, dan tidak ada satu pun anggota tubuh manusia yang terlepas dari pengaruhnya. Tidak ada seorang pun yang tidak tersentuh oleh segala macam bentuk dosa di atas, yang semuanya bermuara pada empat sifat di atas.


       IV.      Klasifikasi Dosa

A.       Keterkaitannya dengan pihak lain.

Jika dilihat dari keterkaitannya dengan pihak lain,  maka dosa terbagi menjadi dua bagian.

1. Dosa yang berkaitan dengan hak-hak manusia (Hak Adami).
Bentuk dosa yang berkaitan dengan hak-hak manusia permasalahannya agak rumit. Hal ini disebabkan dosa seperti ini tidak akan bebas (diampuni), selama orang yang terkait belum memaafkan dan menghalalkannya.

2. Dosa yang berkaitan langsung dengan Allah SWT.
Allah Maha Suci untuk didurhakai. Pengampunan dari segala dosa yang berkaitan dengan Allah Rabbul ’Alamin lebih dekat dan lebih dapat diharapkan, kecuali dosa menyekutukan-Nya (dosa syirik). Sebab, dosa tersebut tidak akan diampuni.

Berkaitan dengan dua bentuk dosa di atas, Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin,  Aisyah ra.

Mahkamah peradilan Allah itu ada tiga. Pertama, peradilan yang Allah tidak memperdulikannya. Kedua, peradilan dimana Allah tidak meninggalkan urusan sekecil apa pun. Ketiga, peradilan dimana Allah tidak memberikan ampunan di dalamnya. Adapun peradilan yang tidak ada ampunan di dalamnya adalah kemusyrikan. Allah SWT berfirman, ‘...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan baginya surga....’ (al-Maidah: 72). Adapun peradilan yang Allah tidak memperdulikannya adalah peradilan hamba yang mendzalimi dirinya sendiri, dan dosanya terkait antara dia dengan Allah SWT,  maka Allah akan mengampuninya dan Insya Allah dianggap tidak ada. Adapun peradilan yang Allah SWT tidak meninggalkan sekecil apapun (teliti) adalah kedzaliman yang terjadi antara hamba dengan yang lainnya, maka qishash pasti terjadi.” (HR. Imam Ahmad)

B.       Besar dan Kecilnya Dosa.

Jika dilihat dari ukuran besar dan kecilnya, maka dosa terbagi menjadi dua bagian.
1. Kabaair  (Dosa-dosa besar)
2. Shagir  (Dosa-dosa kecil)

Perbedaan pendapat  tentang dosa-dosa besar (kabaair) ini sangat banyak, dan hadits yang membahasnya pun jumlahnya berbeda-beda. Setidaknya, ada lima hadits shahih yang membahas dosa-dosa besar tersebut.

Pertama, Hadits yang disampaikan Abi Khurairah ra, “Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, ‘Jauhilah tujuh dosa yang menghancurkan.’ Para sahabat bertanya,  ‘Ya Rasulullah, apa saja yang dimaksud dengan tujuh dosa tersebut?’ Rasululllah menjawab, ‘Mempersekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang telah diharamkan oleh Allah tanpa hak, memakan riba,  memakan harta anak yatim,  melarikan diri dari medan juang ketika perang  dalam keadaan sengit, dan menuduh wanita-wanita mukmin yang baik berzina.’” (HR. Bukhari) [2]

Kedua, Hadits yang disampaikan Ibnu Mas’ud ra, “Sesungguhnya Rasulullah saw. telah ditanya, ‘Apakah yang dimaksud dengan dosa besar itu?’ Maka, Rasulullah bersabda, ‘Kamu menjadikan sesuatu sebagai sekutu Allah, padahal Dia-lah yang telah menciptakanmu. Kemudian Rasul ditanya lagi,  ‘Apalagi?’ Rasulullah menjawab, ‘Kamu membunuh anakmu karena takut makan bersamamu.’ Kemudian ditanya lagi, ‘Apalagi?’ Rasul menjawab, ‘Kamu melakukan zina bersama istri tetanggamu.’” (HR.  Bukhari) [3]

Ketiga, Rasulullah saw. bersabda,  “Maukah kalian aku beritahukan dosa yang paling besar? Dia adalah perkataan yang keji.” Dalam riwayat lain, “Menjadi saksi atas perbuatan keji.” (HR. Bukhari)

Keempat, Anas bin Malik berkata, “Rasulullah saw. menyebutkan dosa-dosa besar atau Beliau ditanya tentang dosa-dosa besar, maka Beliau bersabda, ‘Dosa-dosa besar itu adalah menyekutukan Allah, bunuh diri, dan durhaka kepada orang tua’. Lalu, Beliau bertanya, ‘Maukah kalian kuberitahu tentang dosa terbesar? Yaitu Perbuatan dusta atau sumpah palsu.’” [4] 

Mengenai dosa kabaair, para ulama berbeda pendapat, dan  mereka mempunyai banyak pendapat tentang haal tersebut.. Hadits-hadits Rasulullah saw tentang kabaair tidak bisa dihitung karena banyaknya. Mungkin, syariat tidak menjelaskan dengan gamblang dan jelas dengan tujuan agar manusia sangat berhati-hati dengan urusan dosa.
            Adapun karena shagaair (dosa-dosa kecil) jumlahnya sangat banyak,  maka sulit untuk bisa dideteksi dan ditentukan. Akan tetapi, setiap orang yang beriman hendaklah mengetahui dengan baik bahwa dosa-dosa kecil itu kelak menjadi besar karena beberapa sebab, yaitu sebagai berikut.

1.        Dilakukan secara terus menerus.
2.        Menganggap enteng dosa kecil.
3.        Merasa senang setelah melakukannya, dan mencari sanjungan atas dosa tersebut
4.        Menganggap ringan dikarenakan ampunan Allah.
5.        Membeberkan perbuatan dosa dihadapan orang banyak.
6.        Pelakunya adalah orang berilmu yang menjadi panutan orang banyak.


    V.            Penutup

            Ketika manusia dihadapkan dengan segala bentuk dosa, dan dosa-dosa itu laksana seorang raja yang bengis dan berjiwa penjajah,  maka pastilah ia mulai menyerang dan membumihanguskan desa-desa, perkampungan, dan kota-kota. Maka, penduduk negeri yang ia jajah itu pun terbagi menjadi empat kelompok.

Pertama,  Binasa karena dibunuh.
Kedua, Disiksa.
Ketiga, Selamat dari kekejamannya.
Keempat, Beruntung.
           
Demikian juga halnya manusia ketika dihadapkan dengan dosa. Dosa sangat berbahaya dan menghancurkan,  tetapi sedikit manusia yang bisa mempertahankan diri darinya, dan akhirnya binasa karenanya. Di sisi lain, ada diantara mereka yang tertawan oleh dosa, maka hidupnya penuh dengan tekanan sebagai pengaruh dari dosa yang dia lakukan. Adapun orang yang tidak terpedaya rayuan setan sebagai tentara penabur kemaksiatan—, tetapi tidak begitu banyak melakukan kebajikan, itulah kelompok ketiga. Namun, sebagai orang yang beriman, kita ingin menjadi orang-orang yang terhindar dari segala bentuk dosa, dan pada waktu yang sama, berinvestasi dengan kebajikan yang banyak, sehingga ketika menghadap Allah SWT, kita akan termasuk golongan faaiziin (orang-orang yang beruntung). Amin.


[1] . al-Ghazali. Ihya Ulumuddin. Juz 2, hlm. 99
[2] . al-Bukhari. Bi Hasyiatis Sindi.  Juz 2, hlm. 156, Hadist 2766
[3] . Ibid, Juz 4, hlm. 202-203, Hadist 6811
[4] . Ibid, hlm. 57 No Hadist 5977